Pada suatu hari, Nabi Ibrahim AS menyembelih kurban
fisabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak
orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas kurbannya.
“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah!
Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan
aku kurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim AS, sebagai ungkapan karena Sarah,
istri Nabi Ibrahim belum juga mengandung.
Kemudian Sarah menyarankan Ibrahim agar menikahi Hajar,
budaknya yang negro, yang diperoleh dari Mesir. Ketika berada di daerah Baitul
Maqdis, beliau berdoa kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak, dan doa
beliau dikabulkan Allah SWT. Ada yang mengatakan saat itu usia Ibrahim mencapai
99 tahun. Dan karena demikian lamanya maka anak itu diberi nama Isma'il,
artinya "Allah telah mendengar". Sebagai ungkapan kegembiraan karena
akhirnya memiliki putra, seolah Ibrahim berseru: "Allah mendengar
doaku".
Ketika usia Ismail menginjak kira-kira 7 tahun (ada pula
yang berpendapat 13 tahun), pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah,
Nabi Ibrahim AS bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu
(janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti
mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah SWT atau dari setan? Dari sinilah
kemudian tanggal 8 Dzulhijah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya,
berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi sama
dengan sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal
dari Allah SWT. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah
(artinya mengetahui), dan bertepatan pula waktu itu beliau sedang berada di
tanah Arafah.
Malam berikutnya lagi, beliau mimpi lagi dengan mimpi
yang serupa. Maka, keesokan harinya, beliau bertekad untuk melaksanakan
nazarnya (janjinya) itu. Karena itulah, hari itu disebut denga hari menyembelih
kurban (yaumun nahr). Dalam riwayat lain dijelaskan, ketika Nabi Ibrahim AS
bermimpi untuk yang pertama kalinya, maka beliau memilih domba-domba gemuk,
sejumlah 100 ekor untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang
menyantapnya. Beliau mengira bahwa perintah dalam mimpi sudah terpenuhi. Untuk
mimpi yang kedua kalinya, beliau memilih unta-unta gemuk sejumlah 100 ekor
untuk disembelih sebagai kurban. Tiba-tiba api datang menyantapnya, dan beliau
mengira perintah dalam mimpinya itu telah terpenuhi.
Pada mimpi untuk ketiga kalinya, seolah-olah ada yang
menyeru, “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu agar menyembelih putramu,
Ismail.” Beliau terbangun seketika, langsung memeluk Ismail dan menangis hingga
waktu Shubuh tiba. Untuk melaksanakan perintah Allah SWT tersebut, beliau
menemui istrinya terlebih dahulu, Hajar (ibu Ismail). Beliau berkata,
“Dandanilah puteramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak
untuk bertamu kepada Allah.” Hajar pun segera mendandani Ismail dengan pakaian
paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Kemudian beliau bersama putranya berangkat menuju ke
suatu lembah di daerah Mina dengan membawa tali dan sebilah pedang. Pada saat
itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya dan belum pernah sesibuk itu.
Mondar-mandir ke sana ke mari. Ismail yang melihatnya segera mendekati ayahnya.
“Hai Ibrahim! Tidakkah kau perhatikan anakmu yang tampan
dan lucu itu?” seru Iblis.
“Benar, namun aku diperintahkan untuk itu
(menyembelihnya),” jawab Nabi Ibrahim AS.
Setelah gagal membujuk ayahnya, Iblsi pun datang menemui
ibunya, Hajar. “Mengapa kau hanya duduk-duduk tenang saja, padahal suamimu
membawa anakmu untuk disembelih?” goda Iblis.
“Kau jangan berdusta padaku, mana mungkin seorang ayah
membunuh anaknya?” jawab Hajar.
“Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang, kalau bukan
untuk menyembelih putranya?” rayu Iblis lagi.
“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” jawab Hajar
balik bertanya.
“Ia menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu”,
goda Iblis meyakinkannya.
“Seorang Nabi tidak akan ditugasi untuk berbuat
kebatilan. Seandainya itu benar, nyawaku sendiri pun siap dikorbankan demi
tugasnya yang mulia itu, apalagi hanya dengan mengurbankan nyawa anaku, hal itu
belum berarti apa-apa!” jawab Hajar dengan mantap.
Iblis gagal untuk kedua kalinya, namun ia tetap berusaha
untuk menggagalkan upaya penyembelihan Ismail itu. Maka, ia pun menghampiri
Ismail seraya membujuknya, “Hai Isma’il! Mengapa kau hanya bermain-main dan
bersenang-senang saja, padahal ayahmu mengajakmu ketempat ini hanya untk
menyembelihmu. Lihat, ia membawa tali dan sebilah pedang,”
“Kau dusta, memangnya kenapa ayah harus menyembelih
diriku?” jawab Ismail dengan heran. “Ayahmu menyangka bahwa Allah
memerintahkannya untuk itu” kata Iblis meyakinkannya.
“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan
melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Ketika Iblis hendak merayu dan menggodanya dengan
kata-kata lain, mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil ditanah, dan langsung
melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Maka, Iblis
pun pergi dengan tangan hampa. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban
untuk melempar kerikil (jumrah) dalam ritual ibadah haji.
Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS berterus terang
kepada putranya, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?…” (QS. Ash-Shaffat, [37]: 102).
“Ia (Ismail) menjawab, ‘Hai bapakku! Kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, Insya Allah! Kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar” (QS. Ash-Shaffat, [37]: 102).
Mendengar jawaban putranya, legalah Nabi Ibrahim AS dan
langsung ber-tahmid (mengucapkan Alhamdulillâh) sebanyak-banyaknya.
Untuk melaksanakan tugas ayahnya itu Ismail berpesan
kepada ayahnya, “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak
sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah,
sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena
percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu
melihatnya tentu akan turut berduka.”
“Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini
agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan
serahkan kepada agar ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula
salamku kepadanya dengan berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan
perintah Allah.’ Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah ibu
sehingga ibu sehingga semakin menambah belasungkawa padaku, dan ketika ayah
melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga
menimbulka rasa sedih di hati ayah,” sambung Isma'il.
Setelah mendengar pesan-pesan putranya itu, Nabi Ibrahim
AS menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah
kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim as menggoreskan pedangnya sekuat
tenaga ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun
beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata, “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat
tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan
perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa
diriku taat kepada Allah SWT dalam menjalan perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim as melepaskan ikatan tangan dan kaki
putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan
pedangnya ke leher putranya dengan sekuat tenaganya, namun beliau masih juga
tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan
kemampuanya, beliau menghujamkan pedangnya kearah sebuah batu, dan batu itu pun
terbelah menjadi dua bagian. “Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa
kau tak mampu menembus daging?” gerutu beliau.
Atas izin Allah SWT, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau
menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman,
‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar.” (QS. Ash-Shaffat, [37]: 106)
Menurut satu riwayat, bahwa Ismail diganti dengan seekor
domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil dan selama itu domba itu
hidup di surga. Malaikat Jibril datang membawa domba kibas itu dan ia masih
sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Dan
pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya bertakbir (Allahu Akbar)
mengagungkan kebesaran Allah SWT atas kesabaran kedua umatNya dalam menjalankan
perintahnya. Melihat itu, malaikai Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan
asma Allah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Nabi Ibrahim AS
menyahut, “La Ilaha Illallahu wallahu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allahu
Akbar wa lillahil hamd”. Kemudian bacaan-bacaan tersebut dibaca pada setiap
hari raya qurban (Idul Adha).
Sumber: Nasiruddin, S.Ag, MM, 2007, Kisah Orang-Orang
Sabar, Republika, Jakarta
0 comments:
Post a Comment